BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Negara kesatuan republik Indonesia
(NKRI) adalah negara hukum. Pernyataan NKRI adalah negara hukum tertuang dalam
konstitusi dasar NKRI yaitu dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4.
Menurut Julius Stahl seorang sarjana Denmark, negara Hukum (Rechtstaat) itu harus memenuhi 4 (empat)
unsur, yaitu :
1.
Bahwa harus adanya jaminan
terhadap hak asasi manusia (HAM).
2. Adanya pemisahan kekuasaan.
3. Pemerintahan didasarkan pada
undang-undang.
4. Harus ada peradilan administrasi.[1]
Bila melandaskan konsep negara hukum
bedasarkan teori Julius Stahl tersebut maka unsur-unsur Rechtstaat bagi Indonesia telah terpenuhi[2].
Indonesia menjamin adanya perlindungan terhadap HAM, menjalankan pemerintahan
berdasarkan undang-undang, mengenal pembagian kekuasaan dengan adanya lembaga
eksekutif,legislatif dan yudikatif, serta membentuk pengadilan administrasi
untuk menyelesaikan sengketa administrasi atau tata usaha negara sebagaimana
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (TUN)
Tentara Nasional Indonesia (TNI)
adalah alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
kebijakan dan keputusan politik negara[3]. Sebagai
alat negara TNI juga harus dapat menjunjung amanat konstitusi dasar yang
menyatakann NKRI adalah negara hukum. TNI harus menjamin penegakan HAM dan
tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam pelaksanaan tugasnya dengan tetap mengedepankan kepentingan penyelenggaraan
pertahanan keamanan negara serta menjalankan suatu pengadilan administrasi atau
pengadilan tata usaha militer (TUM) untuk menyelesaikan sengketa TUM dalam
lingkungan peradilan militer.
Pengadilan TUM dalam lingkungan
peradilan militer sesungguhnya sudah sejak lama diamanatkan dalam
undang-undang. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 12 undang-undang Nomor 16 Tahun
1953 tentang kedudukan hukum anggota angkatan perang yang berbunyi ” Anggota tetap yang diperhentikan dari
pangkatnya dalam dinas ketentaraan dengan sebutan "tidak dengan
hormat" yang merasa dirugikan haknya, dapat mengajukan pembelaannya kepada
Pengadilan Tata-Usaha Tentara sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 16 di bawah
ini”.[4] Sedangkan
pada pasal 16 ayat (1) dalam undang-undang yang sama berbunyi “Pemutusan
tentang sengketa yang mengenai tata-usaha dalam soal-soal urusan ketentaraan,
diserahkan kepada Pengadilan Tata-usaha Tentara”. [5] Kedua
Pasal tersebut mengamanatkan penyelesaian sengketa TUM untuk diselesaikan oleh
pengadilan TUM. Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
peradilan militer yang mengatur tentang kewenangan pengadilan militer dalam
lingkungan peradilan militer untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Militer. Namun sampai dengan saat ini, Peraturan Pemerintah
yang seharusnya mengatur pelaksanaan pengadilan Tata Usaha Militer sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 353 undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 belum ditetapkan
oleh pemerintah sehingga penyelesaian sengketa TUM melalui pengadilan di
lingkungan peradilan militer belum dapat dilaksanakan.
Dilematika penyelesaian sengketa TUM
yang belum didukung oleh peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah
semakin rumit dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 dimana
dalam pasal 24 ayat (5) berbunyi “Peradilan militer berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.[6] Pasal
tersebut dapat ditafsirkan bahwa peradilan militer tidak berwenang menyelesikan sengketa Tata Usaha Militer
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1997; sedangkan
menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sengketa Tata Usaha Militer tidak
dapat diselesaikan di pengadilan Tata Usaha Negara.[7]
Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha
Militer.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang adanya kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa tata
usaha militer maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1) Seberapa penting keberadaan pengadilan tata
usaha militer untuk menyelesaikan sengketa tata usaha militer di Indonesia?
2) Apa yang menyebabkan terjadinya kekosongan
hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer di Indonesia?
1.3 Tujuan
Penulisan Makalah
Penulisan
makalah ini akan bertujuan untuk melakukan pengkajian
terhadap:
1) Pentingnya keberadaan pengadilan Tata Usaha
Militer di Indonesia.
2)
Peyebab
terjadinya kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer di
Indonesia beserta segala aspek hukum yang menyertainya.
1.4 Manfaat
Penulisan Makalah
Dari
penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
praktis, diantaranya:
1. Manfaat
Teoritis dan Akademis
Tulisan ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi keilmuan khususnya ilmu Hukum Tata Negara tentang pentingnya Pengadilan tata usaha Militer.
2. Manfaat Praktis
Tukisan ini diharapkan dapat
memberikan masukan dan saran bagi pejabat Pemerintah Indonesia
khususnya di lingkungan Kementerian Pertahanan, Mabes TNI dan segenap
pemangku kewenangan dalam menyikapi Kekosongan
Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Militer.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pentingnya
keberadaan pengadilan tata usaha militer di Indonesia
Sebagai konsekuensi pernyataan Indonesia
sebagai negara hukum maka melalui pendekatan dari segi teori (Theoritical
approach) rechtstaat yang dikemukakan
oleh F. J Stahl, keberadaan peradilan administrasi menjadi salah satu syarat
utama. Konsep Rechtstaat dianggap
menjadi landasan keharusan normatif bagi pembentukan lembaga peradilan
administrasi atau pengadilan yang mengadili sengketa tata usaha sebagai salah
satu unsur pokok negara hukum.[8]
TNI sebagai institusi yang merupakan bagian dari pemerintahan juga harus
memiliki dan tunduk pada suatu pengadilan yang menyelesaikan sengketa
administrasi atau tata usaha di lingkungan militer. Hal ini adalah dalam rangka
memperkuat kedudukan NKRI sebagai negara hukum sesuai amanat UUD 1945. Sengketa
tata usaha militer sendiri menurut pasal 1 angka 35 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha militer antara
orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha militer sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha militer.[9] Yang harus diperhatikan
adalah pengadilan Tata Usaha yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa tata
usaha militer adalah pengadilan Tata Usaha yang berada dalam lingkungan
peradilan militer atau disebut sebagai pengadilan Tata Usaha Militer.
Pembentukan
pengadilan Tata Usaha Militer yang berada dalam lingkungan peradilan militer
dan bukan berada dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan
adanya sifat yang khas dari institusi TNI dan prajurit yang ada di dalamnya.
Kekhasan militer yang memegang asas kesatuan komando menuntut adanya suatu
lingkungan peradilan militer tersendiri. Menurut S.R Sianturi, anggota angkatan
perang tergabung dalam suatu organisasi secara keseluruhan yang disatukan dan
dipelihara/dirawat secara khusus karena diperuntukan bagi suatu tugas yang
berat yang memerlukan kesatuan berpikir dan bertindak.[10]
Lebih lanjut S.R Sianturi menjelaskan bahwa Sebagai akibat dari penggemblengan
dan pengalaman-pengalaman dari seorang militer terutama dalam
pertempuran-pertempuran, di dalam kalangan militer timbulah suatu cara berpikir
dan pandangan-pandangan yang khas bercorak militer dan yang bahkan wajib
dipupuk selanjutnya. Misalnya: setia kawan, rasa karsa, berani berkorban,
semangat menyala-nyala dan lain sebagainya.[11]
Sehingga dibutuhkan ketentuan hukum dan lingkungan peradilan tersendiri
termasuk penyelesaian sengketa tata usaha tersendiri. Sebagai suatu negara yang menjunjung tinggi
hukum, tanpa mengabaikan salah satu kepentingan sudah sewajarnya apabila
diadakan keseimbangan antara asas “kesatuan Komando” (Unity of Command) dan “kesatuan penuntutan” (de een ondeelbaarheid van het parket),[12] demikian
pula dalam penyelesaian sengketa tata usaha antara atasan dan bawahan dalam
lingkungan militer atau dengan suatu badan hukum. Keseimbangan tersebut hanya
dapat dicapai melalui suatu lingkungan peradilan militer tersendiri dimana
perangkatnya adalah anggota militer yang mengetahui dan menyelami sifat yang
khas dari militer itu sendiri yang berbeda dari lingkungan peradilan umum dan pengadilan
Tata Usaha Negara. Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di
lingkungan angkatan bersenjata untuk menegakan hukum dan keadilan dengan
memperhatikan kepentingan penyeleggaraan pertahanan keamanan negara.[13] Hal ini berarti pengadilan di dalam
lingkungan peradilan militer termasuk pengadilan Tata Usaha Militer juga untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Dengan demikian secara filosofis,
pengadilan tata usaha yang menyelesaikan sengketa tata usaha antara atasan dan
bawahan dalam lingkungan militer atau dengan suatu badan hukum harus dibentuk dalam lingkungan peradilan
militer. Dengan dibentuknya pengadilan Tata Usaha Militer di lingkungan
peradilan militer maka TNI dapat turut memperkuat kedudukan NKRI sebagai negara
hukum sekaligus menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
Dilihat
dari sudut pandang yuridis, keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer dalam
lingkungan peradilan militer adalah penting karena telah diamanatkan dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengamanatkan dibentuknya pengadilan Tata Usaha Militer adalah :
1) Dalam
Pasal 12 dan 16 Undang-undang Nomor 16 tahun 1953 Tentang Kedudukan Hukum
Angkatan Perang.
2) Dalam
penjelasan pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.
3) Dalam
pasal 9 ayat (2) dan Bab V Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Militer.
Dari beberapa Peraturan perundang-undangan di
atas dapat kita lihat secara historis dan yuridis pembentukan pengadilan tata
usaha militer telah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini sejak tahun
1953 atau saat Republik Indonesia baru berumur delapan tahun.[14]
Para pembentuk undang-undang saat itu (1953) sudah memiliki visi yang jauh
kedepan tentang pentingnya pembentukan suatu pengadilan Tata Usaha Militer
untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di lingkungan militer. Visi tersebut kemudian
dilanjutkan oleh para pemimpin bangsa yang direalisasikan oleh para pembentuk
undang-undang dengan lahirnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Militer yang di dalamnya mengatur tentang Pengadilan Tata usaha
Militer.
Dilihat
dari sudut pandang sosiologis, pembentukan pengadilan Tata Usaha Militer dalam
lingkungan peradilan militer menjadi sangat penting untuk menunjukan kepada
masyarakat bahwa TNI adalah institusi yang tunduk pada hukum. Disamping itu keberadaan
pengadilan Tata Usaha Militer menguatkan kedudukan Indonesia sebagai salah satu
Negara yang menganut paham Negara hukum (Rechtstaat).
keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer dapat mendorong terwujudnya jaminan
perlindungan hak asasi manusia lewat penyelenggaraan peradilan administrasi
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari kesewenang-wenangan dan arogansi
kekuasaan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Militer yang bertentangan
dengan hukum dan asas-asas pemerintahan yang baik dengan tetap megutamakan
kepentingan pertahanan dan keamanan negara, yang perlu diperhatikan adalah
Peradilan Tata Usaha Militer yang ideal bagi
TNI adalah Peradilan yang mencerminkan mendahulukan Kepentingan Militer, dimana
peradilan tersebut tidak boleh merusak sendi-sendi kehidupan militer akan
tetapi sebaliknya Peradilan tersebut harus mampu mendukung tugas pokok TNI dalam
menjaga kedaulatan Negara.[15]
2.2 Kekosongan
Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Militer Di Indonesia
Kewenangan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan militer untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Militer sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Demikian pula pengaturan tentang
Hukum Acara Tata Usaha Militer telah diatur dalam Bab V Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang peradilan militer dari pasal 265 sampai dengan pasal 343. Dalam
penjelasan pasal 353 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan
militer disebutkan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang
selama ini hanya berwenang dan mengadili perkara pidana, berdasarkan
Undang-undang ini juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara sengketa Tata
Usaha Militer,[16] artinya keberadaan
pengadilan Tata Usaha Militer telah ditopang dengan adanya Undang-undang ini
atau paling tidak piranti lunak (software)
yang mengatur dan menjadi dasar keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer telah
terpenuhi dengan adanya Undang-undang ini.
Namun dalam tataran teknis atau pelaksanaannya
sehari-hari, para pencari keadilan dalam hal terjadinya sengketa Tata Usaha
Militer, belum dapat meyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer di pengadilan
Tata Usaha Militer. Hal ini disebabkan karena sampai dengan saat ini, Peraturan
Pemerintah yang seharusnya mengatur pelaksanaan teknis dan pengaplikasian pengadilan
Tata Usaha Militer sebagaimana diamanatkan dalam pasal 353 undang-undang Nomor
31 Tahun 1997 belum ditetapkan oleh pemerintah, sehingga penyelesaian sengketa
Tata Usaha Militer melalui pengadilan di lingkungan peradilan militer belum
dapat dilaksanakan. Dalam pasal 353 disebutkan bahwa khusus mengenai Hukum
Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak undang-undang 31 Tahun 1997 ini
diundangkan.[17] Namun sampai saat tulisan
ini dibuat,[18] Peraturan Pemerintah
sebagai peraturan pelaksana Undang-undang tersebut belum juga ditetapkan oleh
pemerintah. Peraturan pemerintah yang
dimaksud salah satunya adalah untuk mempersiapkan kemampuan tenaga hakim serta
penataan kelembagaan dan administrasi[19]penyelesaian
sengketa Tata usaha Militer di Pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan
peradilan militer.
Permasalahan belum dapat
dilaksanakannya penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer di pengadilan Tata
Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer yang disebabkan belum adanya peraturan
pelaksanaan berupa peraturan pemerintah yang mengatur secara teknis perangkat,
kelembagaan dan administrasi penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer di
pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer, semakin sulit
dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pasal 24 ayat (5) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.[20] Bila
kita mencermati Pasal tersebut dengan menggunakan teori penafsiran argumentum a contrario/redenering[21] maka dapat
ditafsirkan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer tidak berwenang menyelesikan sengketa Tata Usaha Militer.
Hal ini bertentangan dengan kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer khususnya sebagaimana yang diatur dalam pasal 9 ayat (2) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1997 yang menyatakan kewenangan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Militer. Bila kita melihat perbedaan dari kedua Undang-undang tersebut
dengan menggunakan perspektif asas hukum “Lex
posterior derograt Legi priori”[22] maka
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 “ mengalahkan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997. Dengan demikian penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer tidak dapat
diselesaikan di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Sementara itu, menurut Pasal 2 huruf f
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2001 jo.
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Penggadilan Tata Usaha Negara,
sengketa Tata Usaha Militer tidak dapat diselesaikan di pengadilan Tata Usaha Negara.[23] Keadaan
ini mengakibatkan para pencari keadilan dalam penyelesaiaan sengketa Tata Usaha
Militer tidak memiliki wadah berupa badan pengadilan yang dapat memberikan
keadilan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer karena baik pengadilan
Tata Usaha Militer maupun Pengadilan tata Usaha Negara tidak memiliki wewenang
untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer. Dalam
konteks negara hukum, keadaan ini tidak dapat dibiarkan karena dapat
menimbulkan pelanggaran Hak Asasi oleh penguasa dalam hal ini badan atau
pejabat militer, melalui keputusan yang dikeluarkannya, terhadap perorangan atau badan hukum perdata.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
uraian dalam pembahasan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
1) Keberadaan
Pengadilan Tata Usaha Militer di Indonesia untuk meyelesaikan sengketa Tata
Usaha Militer, ditinjau dari aspek filosofis, yuridis, historis dan sosiologis adalah
sangat penting terutama untuk menegakan amanat konstitusi dasar negara
Indonesia yaitu negara Indonesia adalah negara hukum.
2) Kekosongan
hukum dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer melalui pengadilan Tata
Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer disebabkan belum adanya
Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana sebagaimana yang diamanatkan
dalam pasal 353 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer
serta adanya pasal 25 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang dapat menimbulkan penafsiran bahwa pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara sengketa Tata Usaha Militer.
3.2 Saran
Untuk menjamin tegaknya Indonesia sebagai negara
hukum maka kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa Tata usaha Militer
perlu segera diatasi. Salah satu cara mengatasi kekosongan hukum dalam
penyelesaian sengketa Tata usaha Militer adalah dengan merevisi Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman khususnya pasal 25 ayat (4)
sembari melakukan penguatan terhadap eksistensi pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer khususnya pengadilan Tata Usaha Militer untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer dengan segera menerbitkan
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan pengadilan tata Usaha
Militer sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 353 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Edisi VIII, Bumi Aksara, Jakarta, 2011
Faryatno Situmorang, Peradilan Tata Usaha Militer
Untuk Kepentingan Militer.
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit
Iblam, Jakarta 2006
Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
Sianturi, S.R, Hukum Pidana Militer Di Indonesia,
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta,1985
_________, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Babinkum TNI,
Jakarta, 2012
Teguh Prasetyo, Rule Of Law Dalam Dimensi Negara Hukum Indonesia,Jurnal Ilmu
Hukum Refleksi Ilmu Hukum, Edisi Oktober
2010
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1953
Tentang Kedudukan Hukum Anggota Angkatan Perang
Undang-undang Nomor 2 Tahun
1988 Tentang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara.
[1]
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Edisi
VIII, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm. 54
[2]
Teguh Prasetyo, Rule Of Law Dalam Dimensi
Negara Hukum Indonesia,Jurnal Ilmu Hukum
REFLEKSI ILMU HUKUM, Edisi Oktober 2010, Diakses dari http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3221/2/ART_Teguh%20Prasetyo_Rule%20of%20law_Full%20text.pdf
pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 20.20 WIB.
[3]
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 5.
[4]
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1953 Tentang Kedudukan Hukum Anggota Angkatan
Perang
[5]
Ibid.
[6]
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[7]
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[8]
Riawan Tjandra, Teori dan Praktek
Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta,
2010, hlm. 3
[9]
Dalam pasal 1 angka 35 UU No. 31 Tahun 1997 digunakan istilah sengketa Tata
usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Penulis menggunakan istilah
militer sebagai pengganti istilah Angkatan bersenjata Republik Indonesia dengan
tidak merubah makna dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu sendiri.
Hal ini penulis lakukan untuk konsistensi penggunaan istilah militer dalam
makalah ini.
[10]
S.R Sianturi, Hukum Pidana Militer Di
Indonesia, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta,1985, hlm. 53
[11]
Ibid., hlm 54
[12]
Ibid.
[13]
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Pasal 5 ayat (1)
[14]
UU No 16 Tahun 1953 disahkan pada tanggal 20 Mei 1953 oleh Wakil Presiden saat
itu sekaligus juga pendiri dan Proklamator Negara Indonesia, Mohammad Hatta.
[15]
Faryatno Situmorang, Peradilan Tata Usaha
Militer Untuk Kepentingan Militer, di akses dari https://www.academia.edu/7605820/PERLUKAH_PERADILAN_TATA_USAHA_MILITER_?auto=download
pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 23.00 WIB
[16]
Penjelasan pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Mliter
[17]
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 diundangkan pada Tanggal 15 Oktober 1997
[18]
Tulisan ini dibuat pada tanggal 17 januari 2017.
[19]
Loc cit.
[20]
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[21]
Menurut S.R Sianturi yang dimaksud dengan penafsiran argumentum a contrario ialah, menemukan kebalikan dari pengertian
suatu istilah yang sedang dihadapi. Misalnya kebalikan dari ungkapan “Tiada
pidana tanpa kesalahan” adalah Pidana hanya dijatuhkan kepada seseorang yang
padanya terhadap kesalahan. Lihat S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, BabinkumTNI,
Jakarta, 2012, hlm. 65
[22]
Menurut Prof. Dr. H. Muchsin, SH yang dimaksud dengan asas Lex posterior derograt legi priori adalah suatu undang-undang yang
lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. Lihat
Prof.Dr.H.Muchsin,S.H,Ikhtisar Ilmu Hukum,
Badan Penerbit IBLAM, Jakarta,2006, hlm.45
[23]
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.