HUKUM
PROGRESIF: PANCASILA SEBAGAI BINTANG PEMANDU
Dunia hukum di Indonesia beberapa
tahun belakangan ini diwarnai dengan hadirnya pemikiran tentang hukum
progresif. Kajian mengenai hukum progresif diperkenalkan oleh prof Satjipto
Rahardjo, seorang guru besar emeritus dalam bidang hukum. Hampir dalam setiap
seminar, perkuliahan maupun tulisan beliau beberapa tahun menjelang kematian beliau
di tahun 2010, beliau selalu memperkenalkan dan membahas tentang hukum
progresif. Secara umum hukum progresif hadir untuk memberikan alternatif bagi
pendekatan dalam interpretasi hukum di lndonesia yang didominasi oleh pendekatan
yang dianggap formalistis dan kurang memperhatikan substansi keadilan. Hukum
progresif menurut prof satjipto mengedepankan hukum untuk manusia dan bukan
sebaliknya. Hukum progresif mencoba mendobrak tradisi berpikir legal-positivism; yang
menganggap hukum hanya sebatas pada koridor peraturan perundang-undangan dan
melakukan penafsiran perundang-undangan secara formal-tekstual sehingga dapat
terjadi pengabaian nilai-nilai sosial dalam masyarakat, sehingga sulit untuk mewujudkan
keadilan itu sendiri. Namun di sisi lain pemahaman hukum progrsif yang
keliru justru akan menghadirkan wacana penafsiran hukum yang bebas,
sebebas-bebasnya lepas dari semua ikatan. Untuk itu dalam memahami dan
menerapkan hukum progresif tetap diperlukan “bintang pemandu” yang dapat
mengarahkan perkembangan hukum progresif kearah yang lebih manusiawi, berhati
nurani dan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Keadilan yang ingin
dicapai oleh hukum progresif adalah keadilan sosial seperti yang termaktub
dalam sila kelima dari Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Bintang Pemandu tersebut tidak lain adalah cita hukum negara
Indonesia yaitu pancasila.
Pemahaman terhadap konsep hukum
progresif tidak terlepas dari kondisi pemikiran hukum yang melatarbelakangi
lahirnya hukum progresif. Pemahaman hukum menurut hukum progresif menegaskan
bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[1]
Dalam pemehaman ini hukum progresif menempatkan manusia sebagai unsur utama
dimana hukum merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaannya. Tidak
seharusnya hukum menciptakan ukuran keadilannya sendiri melalui perturan
perundang-undangan justru dengan mengekang kebahagiaan manusia atau dengan
mencederai nilai-nilai sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Hukum seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan manusia dalam hal kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum itu
sendiri. Namun belakangan ini pemenuhan kebutuhan itu semakin jauh dari yang diharapkan. Adanya
kasus hukum yang mengusik rasa keadilan di masyarakat misalnya kasus Prita
Mulyasari melawan RS. Omni Internasional dan kasus nenek Asyani yang didakwa
mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur semakin
membuat masyarakat mempertanyakan keefektifan dan kemampuan pemenuhan keadilan
oleh paham legal-positivism
dimana keadilan adalah apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan.
Keadilan yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan kadangkala tidak sejalan dengan gagasan awal pembentukan
perturan perundang-undangan itu sendiri. perbedaaan antara gagasan dengan apa
yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan menghadirkan pengakuan
terhadap sahnya penafsirn yang berbeda-bada mengenai teks hukum. Hak untuk
menafsirkan atau membebaskan diri dari perintah hukum didasari oleh pendapat,
bahwa perumusan suatu gagasan ke dalam peraturan tertulis, belum tentu
benr-benar mampu mewadahi gagasan orisinal tersebut.[2] Pembebasan
diri dari perintah hukum yang dimaksud termasuk dalam penerapan hukum
progresif.
Dinamika perkembangan
ilmu pengetahuan, teknolologi dan sosial kemasyarkatan adalah suatu keniscayaan
sejak awal peradaban manusia ribuan tahun yang lalu. Dinamika muncul karena
pemikiran, pola hidup dan situasi yang lama tidak dapat lagi mewadahi kehidupan
manusia yang terus berubah. Demikian pula Hukum legal-positivism yang
kaku akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Hukum harus menemukan jalannya agar dapat
mengikuti perkembangan zaman sehingga benar-benar dapat menghadirkan keadilan
bagi manusia.
Hukum
progresif melihat, mengamati dan ingin menemukan cara berhukumyang mampumemberi
jalan dan panduan bagi kenyataan seperti tersebut di atas. Pengamatan dan
pengalaman terhadap peta perjalanan dan kehidupan hukum yang demikian itu
menghasilkan keyakinan, bahwa hukum itu sebaiknya bias membiarkan semua
mengalir secara alami saja. Hal tersebut bias tercapai apabila setiap kali
hukum bias melakukan pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang menyebabkan
hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Tidak lagi mengalir, berarti
kehidupan dan manusia tidak memperoleh pelayanan yang baik dari hukum[3].
Prof.
Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang
selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan
membawa rakyat pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ringkasnya beliau menuliskan
bahwa hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan,
baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu
membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan.
Pembebasan
cara berpikir maupun bertindak dalam hukum yang dianut dalam hukum progresif
sebaiknya diberikan panduan agar tidak menjadi liar. Panduan ini bukan
bermaksud membatasi pembebasan yang dimaksud dlam hukum progresif, karena hal
tersebut menjadi kontradiktif. Panduan yang dimaksud lebih kepada memberikan
arah dari kebebasan tersebut agar kebebasan dalam hukum progresif tidak menjadi
kontraproduktif dan justru melukai keadilan yang ingin dicapai oleh hukum
progresif itu sendiri. Bintang pemandu (Leitstern) yang paling tepat
bagi hukum progresif dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia adlah Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia, khususnya
nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam sila ke-5 “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Cita Hukum
Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut
berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai “bintang pemandu”.[4]Menurut
Rudolf Stammler (1856-1939), cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan
keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat.
Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi
tercapainya cita-cita masyarakat.[5] Cita
hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para Bapak Pendiri
Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata
kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa
Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara
manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta
yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat
dan alam semesta (Gani:1977;20). Pancasila sebagai cita hukum sekaligus sebagai
norma fundamental negara yang telah disepakati bersama, merupakan kristalisasi
dari nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hubungannya dengan penerapan Hukum
Progresif, maka cita hukum Indonesia yaitu Pancasila merupakan pemandu agar
kebebasan berpikir dan bertindak hukum dalam hukum progresif tidak menjadi liar
dan disalahgunakan oleh segelintir orang. Penerapan hukum progresif dengan
aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum, yang mengganjal dan
menghambat perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih
baik, harus ditujukan untuk mencapai cita-cita masyarakat Indonesia yang salah
satunya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Gustav
Radbruch (1878-1949) berpendapat bahwa, Cita hukum tidak hanya berfungsi
sebagai tolak ukur yang bersifat regulative, yaitu yang menguji apakah suatu
hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar
yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum ,hukum
akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[6]Dengan
demikian Pancasila sebagai cita hukum merupakan tolak ukur dari penerapan hukum
progresif dalam usahanya untuk mencapai keadilan sosial. Hukum progresif harus
berpedoman pada Pancasila karena tanpa menjiwai nilai-nilai dalam Pancasila
khususnya keadilan sosial maka hukum progresif kehilangan maknanya sebagai
hukum di Indonesia.
Hukum
harus selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan kehidupan manusia. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan agar hukum dpat berjalan seiring dengan
perkembangan zaman adalah dengan menerapkan Hukum Progresif. Hukum progresif
bersifat dinamis, membangun diri, dan mengutamakan kebebasan dalam menjalankan
hukum dengan meninggalkan hukum yang kaku demi tercapainya keadilan, namun
kebebasan yang ada dalam hukum progresif harus sesuai dengan cita hukum
Indonesia, yaitu Pancasila.
[1] Satjipto
Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2
[2] Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 65
[3] Ibid.,Hal
69
[4]
Maria Farida Indarti,Ilmu
Perundang-undangan, Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm. 229
[5]
A.Hamid S.Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa
Indonesia, Pancasila Sebagai Ideologi
Dalam berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, (Jakarta:
BP 7 Pusat,1991), hal.62-63.
[6]
Ibid.