Kamis, 16 Februari 2017

BAB I
PENDAHULUAN


1.1     Latar Belakang
Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum. Pernyataan NKRI adalah negara hukum tertuang dalam konstitusi dasar NKRI yaitu dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4. Menurut Julius Stahl seorang sarjana Denmark, negara Hukum (Rechtstaat) itu harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu :
1.            Bahwa harus adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM).
2.            Adanya pemisahan kekuasaan.
3.            Pemerintahan didasarkan pada undang-undang.
4.            Harus ada peradilan administrasi.[1]
Bila melandaskan konsep negara hukum bedasarkan teori Julius Stahl tersebut maka unsur-unsur Rechtstaat bagi Indonesia telah terpenuhi[2]. Indonesia menjamin adanya perlindungan terhadap HAM, menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang, mengenal pembagian kekuasaan dengan adanya lembaga eksekutif,legislatif dan yudikatif, serta membentuk pengadilan administrasi untuk menyelesaikan sengketa administrasi atau tata usaha negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN)

Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara[3]. Sebagai alat negara TNI juga harus dapat menjunjung amanat konstitusi dasar yang menyatakann NKRI adalah negara hukum. TNI harus menjamin penegakan HAM dan tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugasnya dengan tetap mengedepankan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara serta menjalankan suatu pengadilan administrasi atau pengadilan tata usaha militer (TUM) untuk menyelesaikan sengketa TUM dalam lingkungan peradilan militer.

Pengadilan TUM dalam lingkungan peradilan militer sesungguhnya sudah sejak lama diamanatkan dalam undang-undang. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 12 undang-undang Nomor 16 Tahun 1953 tentang kedudukan hukum anggota angkatan perang yang berbunyi ” Anggota tetap yang diperhentikan dari pangkatnya dalam dinas ketentaraan dengan sebutan "tidak dengan hormat" yang merasa dirugikan haknya, dapat mengajukan pembelaannya kepada Pengadilan Tata-Usaha Tentara sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 16 di bawah ini”.[4] Sedangkan pada pasal 16 ayat (1) dalam undang-undang yang sama berbunyi “Pemutusan tentang sengketa yang mengenai tata-usaha dalam soal-soal urusan ketentaraan, diserahkan kepada Pengadilan Tata-usaha Tentara”. [5] Kedua Pasal tersebut mengamanatkan penyelesaian sengketa TUM untuk diselesaikan oleh pengadilan TUM. Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer yang mengatur tentang kewenangan pengadilan militer dalam lingkungan peradilan militer untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer. Namun sampai dengan saat ini, Peraturan Pemerintah yang seharusnya mengatur pelaksanaan pengadilan Tata Usaha Militer sebagaimana diamanatkan dalam pasal 353 undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 belum ditetapkan oleh pemerintah sehingga penyelesaian sengketa TUM melalui pengadilan di lingkungan peradilan militer belum dapat dilaksanakan.

Dilematika penyelesaian sengketa TUM yang belum didukung oleh peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah semakin rumit dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 dimana dalam pasal 24 ayat (5) berbunyi “Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.[6] Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa peradilan militer tidak  berwenang menyelesikan sengketa Tata Usaha Militer sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1997; sedangkan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sengketa Tata Usaha Militer tidak dapat diselesaikan di pengadilan Tata Usaha Negara.[7] Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer.

1.2     Perumusan Masalah   
Berdasarkan latar belakang adanya kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
                  1)     Seberapa penting keberadaan pengadilan tata usaha militer untuk menyelesaikan sengketa tata usaha militer di Indonesia?
                  2)     Apa yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer di Indonesia?

1.3     Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini akan bertujuan untuk melakukan pengkajian terhadap:
1)   Pentingnya keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer di Indonesia.
2)   Peyebab terjadinya kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer di Indonesia beserta segala aspek hukum yang menyertainya.

1.4      Manfaat Penulisan Makalah
Dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya:
1.       Manfaat Teoritis dan Akademis
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi keilmuan khususnya ilmu Hukum Tata Negara tentang pentingnya Pengadilan tata usaha Militer.

2.       Manfaat Praktis
          Tukisan ini diharapkan dapat memberikan masukan dan saran bagi pejabat Pemerintah Indonesia khususnya di lingkungan Kementerian Pertahanan, Mabes TNI dan segenap pemangku kewenangan dalam menyikapi Kekosongan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Militer.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1      Pentingnya keberadaan pengadilan tata usaha militer di Indonesia
                        Sebagai konsekuensi pernyataan Indonesia sebagai negara hukum maka melalui pendekatan dari segi teori (Theoritical approach) rechtstaat yang dikemukakan oleh F. J Stahl, keberadaan peradilan administrasi menjadi salah satu syarat utama. Konsep Rechtstaat dianggap menjadi landasan keharusan normatif bagi pembentukan lembaga peradilan administrasi atau pengadilan yang mengadili sengketa tata usaha sebagai salah satu unsur pokok negara hukum.[8] TNI sebagai institusi yang merupakan bagian dari pemerintahan juga harus memiliki dan tunduk pada suatu pengadilan yang menyelesaikan sengketa administrasi atau tata usaha di lingkungan militer. Hal ini adalah dalam rangka memperkuat kedudukan NKRI sebagai negara hukum sesuai amanat UUD 1945. Sengketa tata usaha militer sendiri menurut pasal 1 angka 35 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha militer antara orang  atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha militer sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha militer.[9] Yang harus diperhatikan adalah pengadilan Tata Usaha yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa tata usaha militer adalah pengadilan Tata Usaha yang berada dalam lingkungan peradilan militer atau disebut sebagai pengadilan Tata Usaha Militer.
                       
                        Pembentukan pengadilan Tata Usaha Militer yang berada dalam lingkungan peradilan militer dan bukan berada dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan adanya sifat yang khas dari institusi TNI dan prajurit yang ada di dalamnya. Kekhasan militer yang memegang asas kesatuan komando menuntut adanya suatu lingkungan peradilan militer tersendiri. Menurut S.R Sianturi, anggota angkatan perang tergabung dalam suatu organisasi secara keseluruhan yang disatukan dan dipelihara/dirawat secara khusus karena diperuntukan bagi suatu tugas yang berat yang memerlukan kesatuan berpikir dan bertindak.[10] Lebih lanjut S.R Sianturi menjelaskan bahwa Sebagai akibat dari penggemblengan dan pengalaman-pengalaman dari seorang militer terutama dalam pertempuran-pertempuran, di dalam kalangan militer timbulah suatu cara berpikir dan pandangan-pandangan yang khas bercorak militer dan yang bahkan wajib dipupuk selanjutnya. Misalnya: setia kawan, rasa karsa, berani berkorban, semangat menyala-nyala dan lain sebagainya.[11] Sehingga dibutuhkan ketentuan hukum dan lingkungan peradilan tersendiri termasuk penyelesaian sengketa tata usaha tersendiri.  Sebagai suatu negara yang menjunjung tinggi hukum, tanpa mengabaikan salah satu kepentingan sudah sewajarnya apabila diadakan keseimbangan antara asas “kesatuan Komando” (Unity of Command) dan “kesatuan penuntutan” (de een ondeelbaarheid van het parket),[12] demikian pula dalam penyelesaian sengketa tata usaha antara atasan dan bawahan dalam lingkungan militer atau dengan suatu badan hukum. Keseimbangan tersebut hanya dapat dicapai melalui suatu lingkungan peradilan militer tersendiri dimana perangkatnya adalah anggota militer yang mengetahui dan menyelami sifat yang khas dari militer itu sendiri yang berbeda dari lingkungan peradilan umum dan pengadilan Tata Usaha Negara. Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata untuk menegakan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyeleggaraan pertahanan keamanan negara.[13]  Hal ini berarti pengadilan di dalam lingkungan peradilan militer termasuk pengadilan Tata Usaha Militer juga untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Dengan demikian secara filosofis, pengadilan tata usaha yang menyelesaikan sengketa tata usaha antara atasan dan bawahan dalam lingkungan militer atau dengan suatu badan hukum  harus dibentuk dalam lingkungan peradilan militer. Dengan dibentuknya pengadilan Tata Usaha Militer di lingkungan peradilan militer maka TNI dapat turut memperkuat kedudukan NKRI sebagai negara hukum sekaligus menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan negara.

                        Dilihat dari sudut pandang yuridis, keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer adalah penting karena telah diamanatkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan dibentuknya pengadilan Tata Usaha Militer adalah :
1)          Dalam Pasal 12 dan 16 Undang-undang Nomor 16 tahun 1953 Tentang Kedudukan Hukum Angkatan Perang.
2)          Dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3)          Dalam pasal 9 ayat (2) dan Bab V Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Dari beberapa Peraturan perundang-undangan di atas dapat kita lihat secara historis dan yuridis pembentukan pengadilan tata usaha militer telah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini sejak tahun 1953 atau saat Republik Indonesia baru berumur delapan tahun.[14] Para pembentuk undang-undang saat itu (1953) sudah memiliki visi yang jauh kedepan tentang pentingnya pembentukan suatu pengadilan Tata Usaha Militer untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di lingkungan militer. Visi tersebut kemudian dilanjutkan oleh para pemimpin bangsa yang direalisasikan oleh para pembentuk undang-undang dengan lahirnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang di dalamnya mengatur tentang Pengadilan Tata usaha Militer.

              Dilihat dari sudut pandang sosiologis, pembentukan pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer menjadi sangat penting untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa TNI adalah institusi yang tunduk pada hukum. Disamping itu keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer menguatkan kedudukan Indonesia sebagai salah satu Negara yang menganut paham Negara hukum (Rechtstaat). keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer dapat mendorong terwujudnya jaminan perlindungan hak asasi manusia lewat penyelenggaraan peradilan administrasi untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Militer yang bertentangan dengan hukum dan asas-asas pemerintahan yang baik dengan tetap megutamakan kepentingan pertahanan dan keamanan negara, yang perlu diperhatikan adalah Peradilan Tata Usaha Militer yang ideal bagi TNI adalah Peradilan yang mencerminkan mendahulukan Kepentingan Militer, dimana peradilan tersebut tidak boleh merusak sendi-sendi kehidupan militer akan tetapi sebaliknya Peradilan tersebut harus mampu mendukung tugas pokok TNI dalam menjaga kedaulatan Negara.[15]

2.2    Kekosongan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Militer Di Indonesia
   Kewenangan pengadilan dalam lingkungan Peradilan militer untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Demikian pula pengaturan tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer telah diatur dalam Bab V Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer dari pasal 265 sampai dengan pasal 343. Dalam penjelasan pasal 353 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer disebutkan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang selama ini hanya berwenang dan mengadili perkara pidana, berdasarkan Undang-undang ini juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara sengketa Tata Usaha Militer,[16] artinya keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer telah ditopang dengan adanya Undang-undang ini atau paling tidak piranti lunak (software) yang mengatur dan menjadi dasar keberadaan pengadilan Tata Usaha Militer telah terpenuhi dengan adanya Undang-undang ini.

 Namun dalam tataran teknis atau pelaksanaannya sehari-hari, para pencari keadilan dalam hal terjadinya sengketa Tata Usaha Militer, belum dapat meyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer di pengadilan Tata Usaha Militer. Hal ini disebabkan karena sampai dengan saat ini, Peraturan Pemerintah yang seharusnya mengatur pelaksanaan teknis dan pengaplikasian pengadilan Tata Usaha Militer sebagaimana diamanatkan dalam pasal 353 undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 belum ditetapkan oleh pemerintah, sehingga penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer melalui pengadilan di lingkungan peradilan militer belum dapat dilaksanakan. Dalam pasal 353 disebutkan bahwa khusus mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak undang-undang 31 Tahun 1997 ini diundangkan.[17] Namun sampai saat tulisan ini dibuat,[18] Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana Undang-undang tersebut belum juga ditetapkan oleh pemerintah.  Peraturan pemerintah yang dimaksud salah satunya adalah untuk mempersiapkan kemampuan tenaga hakim serta penataan kelembagaan dan administrasi[19]penyelesaian sengketa Tata usaha Militer di Pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer.

Permasalahan belum dapat dilaksanakannya penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer di pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer yang disebabkan belum adanya peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah yang mengatur secara teknis perangkat, kelembagaan dan administrasi penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer di pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer, semakin sulit dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 ayat (5) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.[20] Bila kita mencermati Pasal tersebut dengan menggunakan teori penafsiran argumentum a contrario/redenering[21] maka dapat ditafsirkan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer tidak  berwenang menyelesikan sengketa Tata Usaha Militer. Hal ini bertentangan dengan kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer khususnya sebagaimana yang diatur dalam pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menyatakan kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer. Bila kita melihat perbedaan dari kedua Undang-undang tersebut dengan menggunakan perspektif asas hukum “Lex posterior derograt Legi priori”[22] maka Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 “ mengalahkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997. Dengan demikian penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer tidak dapat diselesaikan di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Sementara itu, menurut Pasal 2 huruf f Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Penggadilan Tata Usaha Negara, sengketa Tata Usaha Militer tidak dapat diselesaikan di pengadilan Tata Usaha Negara.[23] Keadaan ini mengakibatkan para pencari keadilan dalam penyelesaiaan sengketa Tata Usaha Militer tidak memiliki wadah berupa badan pengadilan yang dapat memberikan keadilan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer karena baik pengadilan Tata Usaha Militer maupun Pengadilan tata Usaha Negara tidak memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer. Dalam konteks negara hukum, keadaan ini tidak dapat dibiarkan karena dapat menimbulkan pelanggaran Hak Asasi oleh penguasa dalam hal ini badan atau pejabat militer, melalui keputusan yang dikeluarkannya,  terhadap perorangan atau badan hukum perdata.


  



BAB III
PENUTUP


3.1     Kesimpulan
                        Dari uraian dalam pembahasan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1)           Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Militer di Indonesia untuk meyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer, ditinjau dari aspek filosofis, yuridis, historis dan sosiologis adalah sangat penting terutama untuk menegakan amanat konstitusi dasar negara Indonesia yaitu negara Indonesia adalah negara hukum.
2)           Kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer melalui pengadilan Tata Usaha Militer dalam lingkungan peradilan militer disebabkan belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 353 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer serta adanya pasal 25 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang dapat menimbulkan penafsiran bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Militer.

3.2      Saran
   Untuk menjamin tegaknya Indonesia sebagai negara hukum maka kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa Tata usaha Militer perlu segera diatasi. Salah satu cara mengatasi kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa Tata usaha Militer adalah dengan merevisi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman khususnya pasal 25 ayat (4) sembari melakukan penguatan terhadap eksistensi pengadilan dalam lingkungan peradilan militer khususnya pengadilan Tata Usaha Militer untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer dengan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan pengadilan tata Usaha Militer sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 353 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.



DAFTAR PUSTAKA


Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Edisi VIII, Bumi Aksara, Jakarta, 2011
Faryatno Situmorang, Peradilan Tata Usaha Militer Untuk Kepentingan Militer.
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta 2006
Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
Sianturi, S.R, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta,1985
­_________, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Babinkum TNI, Jakarta, 2012
Teguh Prasetyo, Rule Of Law Dalam Dimensi Negara Hukum Indonesia,Jurnal Ilmu Hukum  Refleksi Ilmu Hukum, Edisi Oktober 2010
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1953 Tentang Kedudukan Hukum Anggota Angkatan Perang
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.       
           

                         



[1] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Edisi VIII, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm. 54

[2] Teguh Prasetyo, Rule Of Law Dalam Dimensi Negara Hukum Indonesia,Jurnal Ilmu Hukum  REFLEKSI ILMU HUKUM, Edisi Oktober 2010, Diakses dari http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3221/2/ART_Teguh%20Prasetyo_Rule%20of%20law_Full%20text.pdf pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 20.20 WIB.
[3] Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 5.
[4] Undang-undang Nomor 16 Tahun 1953 Tentang Kedudukan Hukum Anggota Angkatan Perang
[5] Ibid.
[6] Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[7] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[8] Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm. 3

[9] Dalam pasal 1 angka 35 UU No. 31 Tahun 1997 digunakan istilah sengketa Tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Penulis menggunakan istilah militer sebagai pengganti istilah Angkatan bersenjata Republik Indonesia dengan tidak merubah makna dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu sendiri. Hal ini penulis lakukan untuk konsistensi penggunaan istilah militer dalam makalah ini.
[10] S.R Sianturi, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta,1985, hlm. 53
[11] Ibid., hlm 54
[12] Ibid.
[13] Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Pasal 5 ayat (1)
[14] UU No 16 Tahun 1953 disahkan pada tanggal 20 Mei 1953 oleh Wakil Presiden saat itu sekaligus juga pendiri dan Proklamator Negara Indonesia, Mohammad Hatta.
[15] Faryatno Situmorang, Peradilan Tata Usaha Militer Untuk Kepentingan Militer, di akses dari https://www.academia.edu/7605820/PERLUKAH_PERADILAN_TATA_USAHA_MILITER_?auto=download pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 23.00 WIB
[16] Penjelasan pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Mliter
[17] Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 diundangkan pada Tanggal 15 Oktober 1997
[18] Tulisan ini dibuat pada tanggal 17 januari 2017.
[19] Loc cit.
[20] Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[21] Menurut S.R Sianturi yang dimaksud dengan penafsiran argumentum a contrario ialah, menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi. Misalnya kebalikan dari ungkapan “Tiada pidana tanpa kesalahan” adalah Pidana hanya dijatuhkan kepada seseorang yang padanya terhadap kesalahan. Lihat S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, BabinkumTNI, Jakarta, 2012, hlm. 65
[22] Menurut Prof. Dr. H. Muchsin, SH yang dimaksud dengan asas Lex posterior derograt legi priori adalah suatu undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. Lihat Prof.Dr.H.Muchsin,S.H,Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta,2006, hlm.45
[23] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Kamis, 13 Oktober 2016

HUKUM PROGRESIF: PANCASILA SEBAGAI BINTANG PEMANDU

Dunia hukum di Indonesia beberapa tahun belakangan ini diwarnai dengan hadirnya pemikiran tentang hukum progresif. Kajian mengenai hukum progresif diperkenalkan oleh prof Satjipto Rahardjo, seorang guru besar emeritus dalam bidang hukum. Hampir dalam setiap seminar, perkuliahan maupun tulisan beliau beberapa tahun menjelang kematian beliau di tahun 2010, beliau selalu memperkenalkan dan membahas tentang hukum progresif. Secara umum hukum progresif hadir untuk memberikan alternatif bagi pendekatan dalam interpretasi hukum di lndonesia yang didominasi oleh pendekatan yang dianggap formalistis dan kurang memperhatikan substansi keadilan. Hukum progresif menurut prof satjipto mengedepankan hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum progresif mencoba mendobrak tradisi berpikir legal-positivism; yang menganggap hukum hanya sebatas pada koridor peraturan perundang-undangan dan melakukan penafsiran perundang-undangan secara formal-tekstual sehingga dapat terjadi pengabaian nilai-nilai sosial dalam masyarakat, sehingga sulit untuk mewujudkan keadilan itu sendiri. Namun di sisi lain pemahaman hukum progrsif yang keliru justru akan menghadirkan wacana penafsiran hukum yang bebas, sebebas-bebasnya lepas dari semua ikatan. Untuk itu dalam memahami dan menerapkan hukum progresif tetap diperlukan “bintang pemandu” yang dapat mengarahkan perkembangan hukum progresif kearah yang lebih manusiawi, berhati nurani dan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Keadilan yang ingin dicapai oleh hukum progresif adalah keadilan sosial seperti yang termaktub dalam sila kelima dari Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bintang Pemandu tersebut tidak lain adalah cita hukum negara Indonesia yaitu pancasila.

Pemahaman terhadap konsep hukum progresif tidak terlepas dari kondisi pemikiran hukum yang melatarbelakangi lahirnya hukum progresif. Pemahaman hukum menurut hukum progresif menegaskan bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[1] Dalam pemehaman ini hukum progresif menempatkan manusia sebagai unsur utama dimana hukum merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaannya. Tidak seharusnya hukum menciptakan ukuran keadilannya sendiri melalui perturan perundang-undangan justru dengan mengekang kebahagiaan manusia atau dengan mencederai nilai-nilai sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Hukum seharusnya dapat memenuhi kebutuhan manusia dalam hal kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Namun belakangan ini pemenuhan kebutuhan  itu semakin jauh dari yang diharapkan. Adanya kasus hukum yang mengusik rasa keadilan di masyarakat misalnya kasus Prita Mulyasari melawan RS. Omni Internasional dan kasus nenek Asyani yang didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur semakin membuat masyarakat mempertanyakan keefektifan dan kemampuan pemenuhan keadilan oleh paham legal-positivism dimana keadilan adalah apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan.

 Keadilan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan kadangkala tidak sejalan dengan gagasan awal pembentukan perturan perundang-undangan itu sendiri. perbedaaan antara gagasan dengan apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan menghadirkan pengakuan terhadap sahnya penafsirn yang berbeda-bada mengenai teks hukum. Hak untuk menafsirkan atau membebaskan diri dari perintah hukum didasari oleh pendapat, bahwa perumusan suatu gagasan ke dalam peraturan tertulis, belum tentu benr-benar mampu mewadahi gagasan orisinal tersebut.[2] Pembebasan diri dari perintah hukum yang dimaksud termasuk dalam penerapan hukum progresif.

Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, teknolologi dan sosial kemasyarkatan adalah suatu keniscayaan sejak awal peradaban manusia ribuan tahun yang lalu. Dinamika muncul karena pemikiran, pola hidup dan situasi yang lama tidak dapat lagi mewadahi kehidupan manusia yang terus berubah. Demikian pula Hukum legal-positivism yang kaku akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat itu sendiri.  Hukum harus menemukan jalannya agar dapat mengikuti perkembangan zaman sehingga benar-benar dapat menghadirkan keadilan bagi manusia.

Hukum progresif melihat, mengamati dan ingin menemukan cara berhukumyang mampumemberi jalan dan panduan bagi kenyataan seperti tersebut di atas. Pengamatan dan pengalaman terhadap peta perjalanan dan kehidupan hukum yang demikian itu menghasilkan keyakinan, bahwa hukum itu sebaiknya bias membiarkan semua mengalir secara alami saja. Hal tersebut bias tercapai apabila setiap kali hukum bias melakukan pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang menyebabkan hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Tidak lagi mengalir, berarti kehidupan dan manusia tidak memperoleh pelayanan yang baik dari hukum[3].

Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ringkasnya beliau menuliskan bahwa hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

Pembebasan cara berpikir maupun bertindak dalam hukum yang dianut dalam hukum progresif sebaiknya diberikan panduan agar tidak menjadi liar. Panduan ini bukan bermaksud membatasi pembebasan yang dimaksud dlam hukum progresif, karena hal tersebut menjadi kontradiktif. Panduan yang dimaksud lebih kepada memberikan arah dari kebebasan tersebut agar kebebasan dalam hukum progresif tidak menjadi kontraproduktif dan justru melukai keadilan yang ingin dicapai oleh hukum progresif itu sendiri. Bintang pemandu (Leitstern) yang paling tepat bagi hukum progresif dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adlah Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia, khususnya nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam sila ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai “bintang pemandu”.[4]Menurut Rudolf Stammler (1856-1939), cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat.[5] Cita hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para Bapak Pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta (Gani:1977;20). Pancasila sebagai cita hukum sekaligus sebagai norma fundamental negara yang telah disepakati bersama, merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat Indonesia.

 Dalam hubungannya dengan penerapan Hukum Progresif, maka cita hukum Indonesia yaitu Pancasila merupakan pemandu agar kebebasan berpikir dan bertindak hukum dalam hukum progresif tidak menjadi liar dan disalahgunakan oleh segelintir orang. Penerapan hukum progresif dengan aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum, yang mengganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih baik, harus ditujukan untuk mencapai cita-cita masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gustav Radbruch (1878-1949) berpendapat bahwa, Cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulative, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum ,hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[6]Dengan demikian Pancasila sebagai cita hukum merupakan tolak ukur dari penerapan hukum progresif dalam usahanya untuk mencapai keadilan sosial. Hukum progresif harus berpedoman pada Pancasila karena tanpa menjiwai nilai-nilai dalam Pancasila khususnya keadilan sosial maka hukum progresif kehilangan maknanya sebagai hukum di Indonesia.

Hukum harus selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan kehidupan manusia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar hukum dpat berjalan seiring dengan perkembangan zaman adalah dengan menerapkan Hukum Progresif. Hukum progresif bersifat dinamis, membangun diri, dan mengutamakan kebebasan dalam menjalankan hukum dengan meninggalkan hukum yang kaku demi tercapainya keadilan, namun kebebasan yang ada dalam hukum progresif harus sesuai dengan cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila.









[1]  Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2
[2] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 65

[3] Ibid.,Hal 69
[4] Maria Farida Indarti,Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 229
[5] A.Hamid S.Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, (Jakarta: BP 7 Pusat,1991), hal.62-63.
[6] Ibid.